SUARA azan sudah terdengar sedari tadi. Pertanda
waktu shalat subuh sudah masuk. Seorang remaja masih saja membolak-balik
badannya di tempat tidur. Gelisah, begitulah yang dia rasakan. Semenjak
mendapatkan SMS balasan dari operator dinas pendidikan di kotanya
tengah malam tadi, badannya terasa lemas. Dadanya sesak, seperti diimpit
oleh batu besar. Dia dinyatakan tidak lulus UN.
Namanya Agung Prasetyo. Teman-teman sekolah biasa memanggilnya Agung.
Dia adalah anak sulung dari dua bersaudara. Ayahnya, Prasetyo, saat ini
bekerja sebagai pegawai negeri sipil di salah satu dinas di lingkungan
pemerintahan kota. Sedangkan ibunya bernama Mutia, adalah guru SD. Dita,
adik satu-satunya saat ini duduk di kelas dua SMP. Anindita Prasetyo,
demikian nama lengkapnya.
Agung kembali memagut bantal guling dan menarik selimutnya. Empuknya spring bed
dan hangatnya selimut tidak bisa membuat tidurnya nyenyak. Pikirannya
selalu tertuju pada balasan SMS itu. Setiap kali dibukanya SMS itu,
dadanya selalu terasa sesak. Gelisah, cemas, tak enak hati, semuanya
bercampur menjadi satu.
Dadanya semakin sesak ketika beberapa saat kemudian, masuk SMS dari
kawan-kawannya yang mengatakan bahwa mereka lulus. Agung hanya bisa
tersenyum kecut membaca setiap SMS yang masuk. Mereka juga bertanya
bagaimana dengan dia. Namun, tak satu pun SMS dari kawan-kawannya yang
dibalasnya. Termasuk SMS dari Budi, kawan akrabnya semenjak SMP. Budi
merupakan teman satu kelasnya di SMA.
Setelah lulus dari SMP dulu, mereka berjanji untuk mendaftar di SMA
yang sama. Meskipun diterima di SMA yang sama, mereka berbeda kelas saat
duduk di kelas satu. Dan, baru di kelas tiga mereka kembali satu kelas.
Perlahan Agung bangkit dan duduk di samping tempat tidurnya.
Pikirannya kembali berkecamuk. Bingung, apa yang harus dikatakan kepada
orang tuanya. Bagaimana kalimat pertama yang harus diucapkannya. Takut,
membayangkan kemarahan ayahnya. Sedih, membayangkan wajah ibunya yang
kecewa.
Dibukanya pintu kamarnya dan segera dia ke kamar mandi untuk mencuci
muka dan berwudlu. Begitu lewat di depan kamar orang tuanya, lagi-lagi
pikirannya berkecamuk.
Ahhh… wajah ibu yang sedih dan muka ayah yang merah menahan amarah,
melintas di pikirannya. Segera ditepisnya pikiran itu. Di dalam kamar
Agung memulai shalatnya. Berusaha untuk khusyuk. Namun, sesekali pikiran
itu terus mengganggu kekhusyukan shalatnya.
Setelah mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, Agung pun
menengadahkan kedua tangannya, mengadu kepada Ilahi. Terdengar lirih
suaranya:
Ya Allah, Ya Rahman….
Di pagi ini, kembali kuhadapkan wajahku kepada-Mu. Telah Kau beri
ketetapan atas diriku. Meskipun aku telah berusaha semaksimal mungkin.
Namun, Engkau sungguh Mahakuasa atas segalanya. Ketika Kau telah berucap
Kun Fayakun… Tak ada seorang pun, atau sesuatu apa pun yang mampu menghalanginya.
Ya Allah, Ya Rahim….
Aku hanya bermohon kepada-Mu, kuatkan hati ini untuk menerima
ketetapan-Mu. Sebagaimana telah Engkau kuatkan diriku untuk bersikap
jujur dalam ujian. Kuabaikan bantuan kawan-kawanku yang memberikan
contekan. Ya… contekan jawaban. Yang katanya berasal dari guru-guru
kami.
Ya Allah, Ya Tuhanku….
Berikanlah kekuatan bagiku untuk menjelaskan semua ini kepada ayah
dan ibuku. Berikanlah kelapangan hati bagi mereka untuk menerima
kegagalanku ini.
Perkenankanlah, Ya Allah….
Amien….
Agung kembali duduk di samping tempat tidurnya. Sesekali dia
mengintip keluar kamar untuk melihat apakah orang tuanya sudah bangun.
Pikirannya kembali menerawang. Kali ini, dia mengingat saat-saat
menghadapi ujian nasional. Dia mendapatkan bisikan dari kawan-kawannya
bahwa ada kunci jawaban di dinding kamar mandi sekolah.
Beberapa temannya sudah ada yang mendapatkan kunci jawaban tersebut.
Agung tidak menggubris hal itu, ia terus saja mengerjakan soal-soal yang
ada di depannya. Satu persatu soal itu mampu dikerjakannya. Ketika dia
mendapat soal yang sulit, muncul kebimbangan dalam hatinya. Ingin
rasanya meminta kunci jawaban tersebut.
Namun, teringat akan nasihat guru mengajinya dulu ketika masih
belajar di Madrasah bahwa keberhasilan yang didapat dengan kebohongan
tidak akan berarti apa-apa, membuatnya mengurungkan niatnya itu. Nilai
kejujuran itu masih tertanam dalam dirinya hingga saat ini.
Sesaat kemudian, Agung merebahkan dirinya ke atas tempat tidur.
Dipagutnya kembali bantal gulingnya. Selimut pun ditarik menutupi kaki
hingga dadanya. Agung tersenyum sendiri mengingat suatu kejadian yang
menarik perhatiannya. Saat itu, seorang panitia ujian memasuki ruangan
ujian untuk mengambil absen pengawas ujian. Panitia ujian itu berusaha
mengajak pengawas ujian untuk berbincang-bincang. Kesempatan itu
dimanfaatkan oleh kawan-kawannya untuk saling memberikan contekan.
Keberadaan panitia ujian itu seolah-olah mengalihkan perhatian pengawas
terhadap peserta ujian.
Keteguhan hatinya untuk jujur dalam mengikuti ujian nasional, sedikit
mengobati kegelisahannya. Timbul secercah kepercayaan dalam dirinya.
Tanpa terasa kantuk pun menyerang matanya. Sesaat kemudian dia
terlelap….
Agung terbangun ketika terdengar suara Dita yang memanggil-manggil
namanya sembari mengetuk pintu kamarnya. Sambil mengucek-ngucek matanya,
Agung segera keluar kamar mengikuti Dita menuju ke ruang makan. Di sana
kedua orang tuanya, Prasetyo dan Mutia, sudah menunggu mereka untuk
sarapan pagi.
Sebelum duduk di kursi, segera Agung mengatakan kepada ayah, ibu, dan
adiknya perihal ketidaklulusannya. “Yah, Bu, maafkan Agung. Agung tidak
lulus UN.”
Mendengar hal itu, ayahnya langsung kaget. Ibunya juga demikian.
Kekhawatiran Agung akan sikap kedua orang tuanya, mulai tampak. Prasetyo
langsung marah mendengar berita itu. Dia tidak menyangka kalau anaknya
akan gagal dalam UN. Padahal, ia sendiri melihat anaknya begitu sibuk
belajar mempersiapkan diri menghadapi UN.
Kemarahan Prasetyo berusaha diredam oleh Mutia, dengan menepuk pundak
suaminya itu pelan-pelan. Meskipun, di wajahnya tersirat perasaan
kecewa yang dalam. Hal itu terlihat jelas oleh Agung. Tebersit dalam
hatinya perasaan bersalah. Agung menyesal tak bisa membahagiakan kedua
orang tuanya yang telah bersusah payah membiayai pendidikannya.
Dita yang sedari tadi mendengar perbincangan di antara mereka, ikut
prihatin atas kegagalan kakaknya. Sesaat kemudian Agung melanjutkan
penjelasannya.
“Ayah…, Ibu…, Meskipun Agung gagal dalam UN ini, Agung masih
merasa terhormat. Agung menjawab soal-soal dengan pikiran dan ilmu Agung
sendiri. Agung tidak mencontek sedikit pun. Meskipun kawan-kawan Agung
mendapatkan kunci jawaban dan berusaha membantu Agung, Agung menolaknya.
Agung tidak ingin menyelesaikan UN dengan cara yang curang. Agung masih
ingat kata Pak Somad, guru mengaji Agung dulu, bahwasanya keberhasilan
yang didapat dengan kebohongan tidak akan berarti apa-apa.”
Mendengar itu, amarah Prasetyo mulai reda. Rasa kagum menyelimuti
hatinya mendengar penjelasan dari anaknya. Pun dengan Mutia, yang dalam
hatinya tersenyum mendengar kejujuran anaknya.
Agung pun melanjutkan penjelasannya:
“Agung berjanji akan belajar lebih giat lagi untuk menghadapi UN
susulan yang akan datang. Agung akan tetap memegang prinsip kejujuran
dalam ujian itu. Doakan Agung ya, Bu …, Ayah.”
Setelah itu mereka berempat berpelukan. Tidak ada lagi rasa marah,
kecewa, dan sedih. Yang ada hanya rasa kagum. Kagum akan nilai kejujuran
yang akan terus dipertahankan.
Sore itu, sepulang kerja, Prasetyo dan Mutia duduk di depan televisi
menonton berita. Hanya mereka berdua yang berada di rumah. Dita dijemput
oleh kawannya untuk menjenguk gurunya yang sakit. Sementara, Agung
pamit hendak ke toko buku mencari buku pelajaran yang gagal dilewatinya
dalam UN.
Ditemani kopi hangat dan gorengan, kedua suami istri itu
mendiskusikan tentang berita seorang pelajar yang nekat bunuh diri
karena tidak lulus UN. Ada juga pelajar yang pingsan mendengar
ketidaklulusannya. Mereka bersyukur karena Agung, anak mereka, bisa
menerima kegagalannya dalam UN. Apalagi, Agung gagal karena bersikap
jujur dalam UN. (*)
Yusrizal Firzal adalah penikmat sastra dan staf ADM di FBSS Universitas Negeri Padang
Sumber : http://lakonhidup.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar